Nama : Haji Husein Mutahar
Lahir : Semarang, 5 Agustus 1916
Ketika sedang berpikir keras menyusun acara demi acara, seberkas ilham berkelebat di benak Mutahar. Persatuan dan kesatuan bangsa, wajib tetap dilestarikan kepada generasi penerus yang akan menggantikan para pemimpin saat itu. "Simbol-simbol apa yang bisa digunakan?" pikirnya.
Sayangnya nuansa ini tak dibarengi lagu-lagu perjuangan dan nasional yang menggelegar di mana-mana. Kecuali di lingkungan sekolah. Para siswa sering melantunkan kembali lagu-lagu wajib seperti: Dari Sabang Sampai Merauke, Maju Tak Gentar, Rayuan Pulau Kelapa, Bangun Pemuda Pemudi, dll. Musik gaul, lagu-lagu kelompok band sekarang cenderung menjadi favorit kaum remaja Indonesia masa kini.
Pada 9 Juni 2004, seorang musikus Indonesia era pra kemerdekaan telah meninggalkan dunia di Jakarta. Dialah Mutahar yang nama lengkapnya Husein Mutahar, kelahiran Semarang 5 Agustus 1916. Beliau adalah pencipta lagu Himme Syukur dan mars Hari Merdeka yang merupakan lagu-lagu wajib nasional. Kepergian almarhum ini memang nyaris tersaput oleh gegap gempita kampanye pemilihan Presiden. Publik pun tak banyak tahu siapa gerangan Mutahar itu.
Tempo edisi 14-20 Juni 2004 menurunkan rubrik khusus obituari mengiringi kepergian Mutahar dengna judul “Mutahar Sudah Merdeka”. Ia dilukiskan sebagai seorang pribadi yang santun, jujur dan cerdas. Inilah prototipe kelompok muda intelektual Indonesia umumnya era pra kemerdekaan yang memiliki ciri-ciri kecerdasan tinggi. Mereka rata-rata menguasai bidang matematika, sejarah, bahasa, musik, dan sastra. Memiliki mental bersiplin tinggi, taat aturan, punya standar moral dan patriotisme hingga akhir hayat mereka.
Karakteristik ini juga ada dalam diri seorang Mutahar. Jejak langkah beliau mencerminkan keterlibatan dan dedikasinya dalam hidup berbangsa dan bernegara. Sebagai seorang “pelayan negara” (civil servant) ia berkecimpung di bidang pemerintahan, kemasyarakatan, diplomasi dan lebih khusus lagi di bidang komposisi lagu-lagu yang bernafaskan nasionalisme dan patri-otisme, pendidikan (lagu anak-anak dan pramuka).
Ia pernah menjadi pelopor kepanduan bangsa Indonesia pada masa pra kemerdekaan yang kalau itu lazim disebut Pandu Rakyat Indonesia. Dari sinilah, dalam kiprah kepanduan Indo-nesia selanjutnya, lahir nama baru “Pramuka” (praja muka karana). Berbagai jabatan yang pernah diemban H. Mutahar menunjukkan bahwa ia adalah seorang abdi negara sejati yang punya kredibilitas, dedikasi dan akuntabilitas (istilah yang marak dipakai pejabat-pejabat era reformasi sekarang ini) disertai ketulusan, kesederhanaan, kerendahan hati dan keindahan (seni musik).
Lagu Syukur yang termasuk jenis lagu himne (gita puja), pujian kepada Tuhan, merupakan lagu pertama ciptaan Mutahar dan untuk pertama kalinya diperkenalkan kepada khayalak ramai pada Januari 1945. Itu berarti beberapa bulan menjelang Proklamasi RI (17 Agustus 1945) yang diumumkan oleh Soekarno-Hatta, Mutahar ingin mengungkapkan magnifikasi (pernyataan pujian) yang agung ke seluruh penjuru tanah air lewat lagu Syukur itu.
Tembang dengan syair yang bernuansa magnificant ini mau menegaskan kepada kita bahwa tanah air Indonesia yang sebentar lagi akan merdeka adalah sebuah karunia Tuhan:
“Dari yakinku teguh, hati ikhlasku penuh, akan karuniaMu
Tanah air pusaka, Indonesia Merdeka, syukur aku sembahkan ke hadiratMu Tuhan”.
Wawasan kebangsaan dan tema ke-merdekaan selalu terdepan dalam derap perjuangan bangsa Indonesia masa pra kemerdekaan. Itulah sebabnya seorang Mutahar tahu betul dan yakin bahwa tanpa pengorbanan putra-putri terbaik bangsa (para pahlawan) di medan perang, niscaya kemerdekaan itu berhasil direngkuh dan direbut dari tangan penjajah sebagaimana ia daraskan pada bait kedua:
“Dari yakinku teguh, cinta ikhlasku penuh, akan jasa usaha
Pahlawanku yang baka, Indonesia Merdeka, syukur aku hunjukkan, ke bawah duli tuan.”
Dia menutup syair-syair lagunya itu dengan sebuah apresiasi pada Gerakan Pramuka Indonesia, Ia melihat institusi kepramukaan itu tidak sekadar sebuah organisasi pemuda/i tapi lebih dari itu sebuah model perjuangan bangsa menuju kemerdekaan dengan satu prinsip perjuangan yaitu kerukunan:
“Dari yakinku teguh, bakti ikhlasku penuh, akan azas rukunmu.
Pandu bangsa yang nyata, Indonesia merdeka, Syukur aku hunjukkan, ke hadapanmu tuan”
Lagu-lagu Indonesia masa sebelum kemerdekaan masuk kategori musik perjuangan dengan penekanan pada aspek sosial dan politik, berbicara tentang identitas dan kesatuan bangsa, merefleksi kembali fase-fase berat masa lalu, bertutur tentang korban berjatuhan di medan perang. Jadi terminologi untuk musik/lagu-lagu perjuangan masa itu disebut “musik fungsional” atau “musik berguna” dengan tujuan utama pada makna dan isi teks, mudah dicerna, gampang dinyanyikan oleh semua lapisan masyarakat.
Di tahun 1946 Mutahar berhasil menggubah lagu mars Hari Kemerde-kaan yang berkarakter brio (bersemangat) sehingga selalu dinyanyikan dengan semangat pula (con brio). Sedangkan judul-judul seperti Gembira, Tepuk Tangan Silang-silang, Mari Tepuk, Slamatlah, Jangan Putus Asa, Saat Berpisah dan Pramuka adalah deretan lagu anak-anak ciptaan Mutahar.
Inilah sosok seorang Mutahar. Potret musikus ulung yang rada tenggelam dalam keruwetan negeri ini. Ketika bangsa ini merayakan usia emas 50 tahun (1995) sekali lagi ia diberi kepercayaan oleh pemerintah pusat untuk menggubah lagu khusus yang berjudul “Dirgahayu Indonesiaku” sebagai lagu resmi ulang tahun kemerdekaan ke-50 RI. Inilah karyanya yang terakhir sebelum ia tutup usia.
Mutahar memang telah tiada, namun lagu-lagunya akan hidup sepanjang masa, sebab itulah hakekat seni "ars longa, vita brevis” kata adagium Latin.
Lahir : Semarang, 5 Agustus 1916
RIWAYAT HIDUP
Pendidikan:
- ELS (Europese Lagere School) (SD Eropa 7 tahun), merangkap mengaji/membaca Al-Quran pada guru wanita, Encik Nur.
- MULO (Meer Uitgebreid Lager Ondewwijs) atau SMP 3 tahun
di Semarang, merangkap mengaji pada Kiai Saleh.
- MS (Algemeen Midelbare School) atau SMA, jurusan Sastra Timur, khusus bahasa Melayu, di Yogyakarta.
- Universitas Gajah Mada, Jurusan Hukum merangkap Jurusan Sastra Timur, khusus Jawa Kuno di Yogyakarta (sesudah 2 tahun drop out karena perjuangan).
- Semua Kursus/Training Pemimpin Pandu di Indonesia dan di London.
- Training School Diplomatic and Consulair Affairs di Nederland.
- Training School Diplomatic and Consulair Affairs di kantor PBB (United Nation Organization/UNO), New York.
Pekerjaan:
- Guru Bahasa Belanda di SD swasta Islam di Pekalongan.
- Wartawan berita kota, surat kabar Belanda "Het Noorden" di Semarang, 1938.
- Klerk di Cosultatie Bureau der Afdeling Nijverheid voor Noord Midden Java, Departement Ekonomische Zaken, 1939-1942.
- Sekretaris Keizai Bucho (Kepala Bagian Ekonomi) Kantor Gubernur Jawa Tengah, 1943.
- Pegawai Rikuyu Sokyoku (Jawatan Kereta Api Jawa Tengah Utara) di Semarang, 1943-1948.
- Sekretaris Panglima Angkatan Laut Republik Indonesia, 1945-1946.
- Ajudan III, kemudian Ajudan II Presiden Republik Indonesia, 1946-1948.
- Pegawai Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, 1969-1979.
- Diperbantukan pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sebagai Direktur Jenderal Urusan Pemuda dan Pramuka (Dirjen Udaka) Departemen P&K, 1966-1968.
- Diangkat menjadi Duta Besar Republik Indonesia pada Tahta Suci di Vatikan, 1969-1973.
- Direktur Protokol Departemen Luar Negeri merangkap Protokol Negara, 1973-1974
- InspekturJenderal Departemen Luar Negeri dan selama 16 bulan, merangkap Direktur Protokol dan Konsuler Departemen Luar Negeri, merangkap Kepala Protokol Negara, 1974.
- Pensiun sebagai Pegawai Negeri Sipil, golongan IVe.
Pergerakan:
- Pemimpin Pandu dan Pembina Pramuka, 1934-1969
- Anggota Partai Politik, 1938-1942
- Kepala Sekolah Musik di Semarang, sebagai tempat penanaman, penyebaran, dan pengobaran semangat kebangsaan Indonesia, sebagai gerakan melawan penyebaran semangat Jepang dan bungkus gerakan subversi lawan Jepang, 1942-1945
- Anggota AMKRI (Angkatan Muda Kereta Api Indonesia) di Semarang, 1945.
- Anggota BPRI (Badan Pemberontak Rakyat Indonesia) Jawa Tengah, 1945.
- Anggota redaksi majalah ”Revolusi Pemuda”, 1945-1946.
- Gerilya, 1948-1949
- Ikut mendirikan dan bergerak sebagai pemimpin Pandu serta kemudian menjadi anggota Kwartir Besar Organisasi Persatuan dan Kesatuan Kepanduan Nasional Indonesia ”Pandu Rakyat Indonesia”, 28-12-1945 s.d. 20-5-1961.
- Ikut mendirikan dan bergerak sebagai Pembina Pramuka, duduk sebagai anggota Kwartir Nasional Gerakan Pramuka dan Andalan Nasional Urusan Latihan,1961-1969.
- Sekretaris Jenderal Majelis Pembimbing Nasional Gerakan Pramuka, 1973 -1978, dan anggota biasa, 1978-2004.
- Alumni Penataran P-4 Tingkat Nasional XIX,1980.
- Ketua Umum organisasi sosial di bidang pendidikan ”Parani Dharmabakti Indonesia” (PADI), 1987–2004.
- Ketua Dewan Pengawas ”Yayasan Idayu”.
Hobi:
- Seni Suara
- Studi Agama Islam dan perbandingan agama-agama serta organisasi kerohanian, baik di dunia Timur maupun Barat.
Keluarga:
Tidak menikah, namun mempunyai 8
anak semang (6 laki-laki dan 2 perempuan). Sebagian merupakan ”serahan” dari
ibu mereka yang janda atau bapak mereka beberapa waktu sebelum meninggal
dunia. Ada pula bapak/ibu yang sukarela menyerahkan anaknya untuk diakui
sebagai anak sendiri. Semua sudah berumah tangga dan mempunyai 15 orang cucu
(7 laki-laki dan 8 perempuan).
Meninggal Dunia:
Hari Rabu, 9 Juni 2004, pukul 16.30
WIB, dalam usia 87 tahun di Jln. Damai No.20 Cipete, Jakarta Selatan. Dimakamkan
di Taman Pemakaman Umum Jeruk Purut, Jakarta Selatan. Sebetulnya, beliau
berhak dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata karena memiliki tanda kehormatan
”Mahaputera” atas jasa menyelamatkan bendera pusaka Merah Putih dan ”Bintang
Gerilya” atas jasanya ikut perang gerilya tahun 1948-1949. Tetapi, beliau tidak
mau, bahkan mengurus hal itu kepada pengacara dengan membuat surat wasiat.
BAPAK PASKIBRAKA INDONESIA
Nama Husein Mutahar, adalah
seorang komposer musik Indonesia, terutama untuk kategori lagu kebangsaan dan
anak-anak. Lagu ciptaannya yang populer adalah himne Syukur
(diperkenalkan Januari 1945) dan mars Hari Merdeka (1946). Karya
terakhirnya, Dirgahayu Indonesiaku, menjadi lagu resmi ulang tahun ke-50
Kemerdekaan Indonesia.
Peristiwa
itu terjadi beberapa hari menjelang peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan
Republik Indonesia pertama. Presiden Soekamo memanggil ajudannya, Mayor (Laut)
M. Husain Mutahar dan memberi tugas agar segera mempersiapkan upacara
peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1946, di
halaman Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta.
Ketika sedang berpikir keras menyusun acara demi acara, seberkas ilham berkelebat di benak Mutahar. Persatuan dan kesatuan bangsa, wajib tetap dilestarikan kepada generasi penerus yang akan menggantikan para pemimpin saat itu. "Simbol-simbol apa yang bisa digunakan?" pikirnya.
Pilihannya lalu jatuh pada
pengibaran bendera pusaka. Mutahar berpikir, pengibaran lambang negara itu
sebaiknya dilakukan oleh para pemuda Indonesia. Secepatnya, ia menunjuk lima
pemuda yang terdiri dari tiga putri dan dua putra. Lima orang itu, dalam
pemikiran Mutahar, adalah simbol Pancasila.
Salah seorang pengibar bendera
pusaka 17 Agustus 1946 itu adalah Titik Dewi Atmono Suryo, pelajar SMA asal
Sumatera Barat yang saat itu sedang menuntut ilmu dan tinggal di Yogyakarta.
Sampai peringatan HUT Kemerdekaan ke-4 pada 17 Agustus 1948, pengibaran oleh lima
pemuda dari berbagai daerah yang ada di Yogyakarta itu tetap dilaksanakan.
Sekembalinya ibukota Republik
Indonesia ke Jakarta, mulai tahun 1950 pengibaran bendera pusaka dilaksanakan
di Istana Merdeka Jakarta. Regu-regu pengibar dibentuk dan diatur oleh Rumah
Tangga Kepresidenan Rl sampai tahun 1966. Para pengibar bendera itu memang para
pemuda, tapi belum mewakili apa yang ada dalam pikiran Mutahar.
Mutahar tidak lagi menangani
pengibaran bendera pusaka sejak ibukota negara dipindahkan dari Yogyakarta.
Upacara Peringatan Proklamasi Kemerdekaan diadakan di Istana Merdeka Jakarta
sejak 1950 sampai 1966. Ia pun seakan hilang bersama impiannya. Namun, ia
mendapat "kado ulang tahun ke-49" pada tanggal 5 Agustus 1966, ketika
ditunjuk menjadi Direktur Jenderal Urusan Pemuda dan Pramuka (Dirjen Udaka) di
Departemen Pendidikan & Kebudayaan (P&K). Saat itulah, ia kembali
teringat pada gagasannya tahun 1946.
Setelah berpindah-pindah tempat
ker-ja dari Stadion Utama Senayan ke eks gedung Departemen PTIP di Jalan
Pegangsaan Barat, Ditjen Udaka akhirnya menempati gedung eks Departemen
Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Naker-trans) Jalan Merdeka Timur 14 Jakarta.
Tepatnya, di depan Stasiun Kereta Api Gambir.
Dari sana, Mutahar dan jajaran Udaka
kemudian mewujudkan cikal bakal latihan kepemudaan yang kemudian diberi nama
"Latihan Pandu Ibu Indonesia BerPancasila". Latihan itu sempat
diujicoba dua kali, tahun 1966 dan 1967. Kurikulum ujicoba "Pasukan
Penggerek Bendera Pusaka" dimasukkan dalam latihan itu pada tahun 1967
dengan peserta dari Pramuka Penegak dari beberapa gugus depan yang ada di DKI
Jakarta.
Latihan itu mempunyai kekhasan,
terutama pada metode pendidikan dan pelatihannya yang menggunakan pendekatan
sistem "Keluarga Bahagia" dan diterapkan secara nyata dalam konsep
"Desa Bahagia". Di desa itu, para peserta latihan (warga desa) diajak
berperan serta dalam menghayati kehidupan sehari-hari yang menggambarkan
peng-hayatan dan pengamalan Pancasila.
Saat Ditjen Udaka difusikan dengan
Ditjen Depora menjadi Ditjen Olahraga dan Pemuda, lalu berubah lagi menjadi
Ditjen Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda dan Olahraga (Diklusepora), salah satu
direktorat di bawahnya adalah Direktorat Pembinaan Generasi Muda (PGM).
Direktorat inilah yang kemudian meneruskan latihan dengan lembaga penyelenggara
diberi nama "Gladian Sentra Nasional".
Tahun 1967, Husain Mutahar kembali
dipanggil Presiden Soeharto untuk dimintai pendapat dan menangani masalah
pengibaran bendera pusaka. Ajakan itu, bagi Mutahar seperti "mendapat
durian runtuh" karena berarti ia bisa melanjutkan gagasannya membentuk
pasukan yang terdiri dari para pemuda dari seluruh Indonesia.
Mutahar lalu menyusun ulang dan
mengembangkan formasi pengibaran dengan membagi pasukan menjadi tiga kelompok,
yakni Kelompok 17 (Pengiring/ Pemandu), Kelompok 8 (Pembawa/Inti) dan Kelompok
45 (Pengawal). Formasi ini merupakan simbol dari tanggal Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia Republik Indonesia 17 Agustus 1945 (17-8-45).
Mutahar berpikir keras dan mencoba
mensimulasikan keberadaan pemuda utusan daerah dalam gagasannya, karena
dihadapkan pada kenyataan saat itu bahwa belum mungkin untuk mendatangkan
mereka ke Jakarta. Akhirnya diperoleh jalan keluar dengan melibatkan
putra-putri daerah yang ada di Jakarta dan menjadi anggota Pandu/Pramuka untuk
melaksanakan tugas pengibaran bendera pusaka.
Semula, Mutahar berencana untuk
mengisi personil kelompok 45 (Pengawal) dengan para taruna Akademi Ang-katan
Bersenjata Republik Indonesia (Akabri) sebagai wakil generasi muda ABRI. Tapi
sayang, waktu liburan perkuliahan yang tidak tepat dan masalah transportasi
dari Magelang ke Jakarta menjadi kendala, sehingga sulit terwujud.
Usul lain untuk menggunakan anggota
Pasukan Khusus ABRI seperti RPKAD (sekarang Kopassus), PGT (sekarang Paskhas),
Marinir dan Brimob, juga tidak mudah dalam koordinasinya. Akhirnya, diambil
jalan yang paling mudah yaitu dengan merekrut anggota Pasukan Pengawal Presiden
(Paswalpres), atau sekarang Paspampres, yang bisa segera dikerahkan, apalagi
sehari-hari mereka memang bertugas di lingkungan Istana.
Pada tanggal 17 Agustus 1968, apa
yang tersirat dalam benak Husain Mutahar akhirnya menjadi kenyataan. Setelah
tahun sebelumnya diadakan ujicoba, maka pada tahun 1968 dida-tangkanlah pada
pemuda utusan daerah dari seluruh Indonesia untuk mengibar-kan bendera pusaka.
Selama enam tahun, 1967-1972,
bendera pusaka dikibarkan oleh para pemuda utusan daerah dengan sebutan
"Pasukan Penggerek Bendera". Pada tahun 1973, Drs Idik Sulaeman yang
menjabat Kepala Dinas Pengembangan dan Latihan di Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (P&K) dan membantu Husain Mutahar dalam pembinaan latihan
me-lontarkan suatu gagasan baru tentang nama pasukan pengibar bendera pusaka.
Mutahar yang tak lain mantan pembina
penegak Idik di Gerakan Pramuka setuju. Maka, kemudian meluncurlah sebuah nama
antik berbentuk akronim yang agak sukar diucapkan bagi orang yang pertama kali
menyebutnya: PASKIBRAKA, yang merupakan singkatan dari Pasukan Pengibar Bendera
Pusaka.
Memang,
Idik Sulaeman yang memberi nama Paskibraka. Tapi pada hakekatnya penggagas
Paskibraka tetaplah Husein Mutahar, sehingga ia sangat pantas diberi gelar
"Bapak Paskibraka".
POTRET SEORANG MISTIKUS ULUNG
Euforia nasionalisme dan patriotisme (cinta tanah air) bangsa Indo
nesia seakan meledak-ledak ke permukaan tatkala kita merayakan HUT
Proklamasi Kemerdekaan RI dari tahun ke tahun. Mulai dari RT/RW,
desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, propinsi hingga istana
negara, gedung-gedung sekolah, kampus, kantraktor, pertokoan,
tempat-tempat keramaian umum termasuk rumah-rumah penduduk terpancang
umbu-umbul warna warni yang mencuar-cuar ke langit menghiasi wajah tanah
air ini.
Sayangnya nuansa ini tak dibarengi lagu-lagu perjuangan dan nasional yang menggelegar di mana-mana. Kecuali di lingkungan sekolah. Para siswa sering melantunkan kembali lagu-lagu wajib seperti: Dari Sabang Sampai Merauke, Maju Tak Gentar, Rayuan Pulau Kelapa, Bangun Pemuda Pemudi, dll. Musik gaul, lagu-lagu kelompok band sekarang cenderung menjadi favorit kaum remaja Indonesia masa kini.
Pada 9 Juni 2004, seorang musikus Indonesia era pra kemerdekaan telah meninggalkan dunia di Jakarta. Dialah Mutahar yang nama lengkapnya Husein Mutahar, kelahiran Semarang 5 Agustus 1916. Beliau adalah pencipta lagu Himme Syukur dan mars Hari Merdeka yang merupakan lagu-lagu wajib nasional. Kepergian almarhum ini memang nyaris tersaput oleh gegap gempita kampanye pemilihan Presiden. Publik pun tak banyak tahu siapa gerangan Mutahar itu.
Tempo edisi 14-20 Juni 2004 menurunkan rubrik khusus obituari mengiringi kepergian Mutahar dengna judul “Mutahar Sudah Merdeka”. Ia dilukiskan sebagai seorang pribadi yang santun, jujur dan cerdas. Inilah prototipe kelompok muda intelektual Indonesia umumnya era pra kemerdekaan yang memiliki ciri-ciri kecerdasan tinggi. Mereka rata-rata menguasai bidang matematika, sejarah, bahasa, musik, dan sastra. Memiliki mental bersiplin tinggi, taat aturan, punya standar moral dan patriotisme hingga akhir hayat mereka.
Karakteristik ini juga ada dalam diri seorang Mutahar. Jejak langkah beliau mencerminkan keterlibatan dan dedikasinya dalam hidup berbangsa dan bernegara. Sebagai seorang “pelayan negara” (civil servant) ia berkecimpung di bidang pemerintahan, kemasyarakatan, diplomasi dan lebih khusus lagi di bidang komposisi lagu-lagu yang bernafaskan nasionalisme dan patri-otisme, pendidikan (lagu anak-anak dan pramuka).
Ia pernah menjadi pelopor kepanduan bangsa Indonesia pada masa pra kemerdekaan yang kalau itu lazim disebut Pandu Rakyat Indonesia. Dari sinilah, dalam kiprah kepanduan Indo-nesia selanjutnya, lahir nama baru “Pramuka” (praja muka karana). Berbagai jabatan yang pernah diemban H. Mutahar menunjukkan bahwa ia adalah seorang abdi negara sejati yang punya kredibilitas, dedikasi dan akuntabilitas (istilah yang marak dipakai pejabat-pejabat era reformasi sekarang ini) disertai ketulusan, kesederhanaan, kerendahan hati dan keindahan (seni musik).
Lagu Syukur yang termasuk jenis lagu himne (gita puja), pujian kepada Tuhan, merupakan lagu pertama ciptaan Mutahar dan untuk pertama kalinya diperkenalkan kepada khayalak ramai pada Januari 1945. Itu berarti beberapa bulan menjelang Proklamasi RI (17 Agustus 1945) yang diumumkan oleh Soekarno-Hatta, Mutahar ingin mengungkapkan magnifikasi (pernyataan pujian) yang agung ke seluruh penjuru tanah air lewat lagu Syukur itu.
Tembang dengan syair yang bernuansa magnificant ini mau menegaskan kepada kita bahwa tanah air Indonesia yang sebentar lagi akan merdeka adalah sebuah karunia Tuhan:
“Dari yakinku teguh, hati ikhlasku penuh, akan karuniaMu
Tanah air pusaka, Indonesia Merdeka, syukur aku sembahkan ke hadiratMu Tuhan”.
Makna yang dalam serta nilai musikal yang kuat dalam lagu himne Syukur
ini seringkali membuat banyak orang terenyuh dan terpesona bahkan
mencucurkan air mata ketika dinyanyikan kelompok paduan suara dengan
penuh penjiwaan. Tak heran lagu berwatak serindai ini selalu menjadi
salah satu lagu utama (prime song) pada parade lagu-lagu perjuangan
perayaan 17 Agustus atau hari besar nasional lainnya.
Wawasan kebangsaan dan tema ke-merdekaan selalu terdepan dalam derap perjuangan bangsa Indonesia masa pra kemerdekaan. Itulah sebabnya seorang Mutahar tahu betul dan yakin bahwa tanpa pengorbanan putra-putri terbaik bangsa (para pahlawan) di medan perang, niscaya kemerdekaan itu berhasil direngkuh dan direbut dari tangan penjajah sebagaimana ia daraskan pada bait kedua:
“Dari yakinku teguh, cinta ikhlasku penuh, akan jasa usaha
Pahlawanku yang baka, Indonesia Merdeka, syukur aku hunjukkan, ke bawah duli tuan.”
Dia menutup syair-syair lagunya itu dengan sebuah apresiasi pada Gerakan Pramuka Indonesia, Ia melihat institusi kepramukaan itu tidak sekadar sebuah organisasi pemuda/i tapi lebih dari itu sebuah model perjuangan bangsa menuju kemerdekaan dengan satu prinsip perjuangan yaitu kerukunan:
“Dari yakinku teguh, bakti ikhlasku penuh, akan azas rukunmu.
Pandu bangsa yang nyata, Indonesia merdeka, Syukur aku hunjukkan, ke hadapanmu tuan”
Lagu-lagu Indonesia masa sebelum kemerdekaan masuk kategori musik perjuangan dengan penekanan pada aspek sosial dan politik, berbicara tentang identitas dan kesatuan bangsa, merefleksi kembali fase-fase berat masa lalu, bertutur tentang korban berjatuhan di medan perang. Jadi terminologi untuk musik/lagu-lagu perjuangan masa itu disebut “musik fungsional” atau “musik berguna” dengan tujuan utama pada makna dan isi teks, mudah dicerna, gampang dinyanyikan oleh semua lapisan masyarakat.
Di tahun 1946 Mutahar berhasil menggubah lagu mars Hari Kemerde-kaan yang berkarakter brio (bersemangat) sehingga selalu dinyanyikan dengan semangat pula (con brio). Sedangkan judul-judul seperti Gembira, Tepuk Tangan Silang-silang, Mari Tepuk, Slamatlah, Jangan Putus Asa, Saat Berpisah dan Pramuka adalah deretan lagu anak-anak ciptaan Mutahar.
Inilah sosok seorang Mutahar. Potret musikus ulung yang rada tenggelam dalam keruwetan negeri ini. Ketika bangsa ini merayakan usia emas 50 tahun (1995) sekali lagi ia diberi kepercayaan oleh pemerintah pusat untuk menggubah lagu khusus yang berjudul “Dirgahayu Indonesiaku” sebagai lagu resmi ulang tahun kemerdekaan ke-50 RI. Inilah karyanya yang terakhir sebelum ia tutup usia.
Mutahar memang telah tiada, namun lagu-lagunya akan hidup sepanjang masa, sebab itulah hakekat seni "ars longa, vita brevis” kata adagium Latin.
Sumber :
- Drs H. Idik Sulaeman, AT, Booklet Paskibraka 2004
- Willem B Berybe Guru SMAK Giovanni Kupang